Saturday 21 February 2015

Harvard Robotics

Muhammad Herviano Widyatama, anak Komisaris Jenderal Budi Gunawan,
membetot perhatian publik hampir sebulan belakangan ini. Namanya kerap
kali dihubungkan dengan dugaan kepemilikan rekening gendut milik Budi
Gunawan pada 2010. Budi sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam kasus gratifikasi dan dugaan suap terkait
jabatannya di Markas Besar Kepolisian RI selama periode 2006-2010.

Jejak Herviano terang benderang sejak beredarnya dokumen hasil
pemeriksaan Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri terhadap transaksi
ganjil sebesar Rp 57 miliar di rekening Budi. Dokumen ini muncul saat
Budi mengikuti uji kelayakan sebagai calon Kepala Polri di DPR, Rabu, 14
Januari 2015. Kepada tim penyelidik, Budi mengaku transaksi di rekening
itu titipan Herviano. Saat diperiksa, Budi menjabat Kepala Divisi
Profesi dan Pengamanan Polri dengan pangkat inspektur jenderal.


Menurut Budi, arus dana di dalam rekeningnya berasal dari pinjaman yang
dikucurkan oleh Pacific Blue International Limited pada 5 Juli 2005
kepada Herviano, yang ketika itu berusia 19 tahun. Kepada pemeriksanya,
Herviano menjelaskan kredit Rp 57 miliar dari perusahaan asal Selandia
baru itu untuk berbisnis pertambangan timah dan perhotelan. “Karena dana
terbatas, saya meminta dukungan dari orang tua,” kata Herviano kepada
Tim Bareskrim, 10 Juni 2010.

Budi lantas memperkenalkan
Herviano kepada Lo Stefanus dan Robert Priantono Bonosusatya. Oleh Budi
mereka diakui sebagai sobat lamanya. Belakangan diketahui Stefanus
adalah pemilik sejumlah jaringan toko berlian seperti Frank and Co,
Mondial Jewellery, dan Miss Mondial. Ada pun Robert adalah Presiden
Komisaris PT Jasuindo Tiga Perkasa, perusahaan percetakan di Surabaya.
Robert kemudian mempertemukan Herviano dan Budi kepada David Koh, kuasa
direksi Pacific Blue.

Ringkas cerita, Herviano, yang saat itu
berusia 19 tahun, meneken akad kredit pada 6 Juli 2005 di depan David
Koh. David mengucurkan US$ 5,9 juta atau setara Rp 57 miliar dengan kurs
ketika itu Rp 9.700 per dolar. Pinjaman ini berbentuk tunai dalam
rupiah. Berdasarkan akad kredit, pinjaman berlaku tiga tahun mulai 6
Juli dan berakhir pada 5 Juli 2008 dengan tingkat bunga sesuai mekanisme
Singapore Interbank Offered Rate (SIBOR) ditambah 2 persen, yang
dibayar per bulan.

Seperti yang tergambar dalam dokumen
tersebut, Herviano tak serta merta mengucurkan pinjamannya sesuai maksud
perjanjian bisnisnya dengan Pacific Blue. Barulah lima bulan berselang
dana ini diinvestasikan. Tercatat, investasi pertama Herviano sebesar Rp
2 miliar pada 15 Desember 2005. Namun, bukan di bisnis tambang atau
hotel, melainkan pembelian surat berharga, yang disusul tiga pembelian
lagi senilai Rp 6 miliar pada Agustus 2006. Sehingga total investasi Rp 8
miliar.

Investasi di bidang perhotelan baru terwujud nyaris
dua tahun setelah akad kredit yang diteken pada 6 Juli 2005. Dalam
laporannya, Tim Bareskrim menyebutkan Herviano terekam mengeluarkan dana
untuk mendirikan Hotel The Palais Dago, Bandung, senilai Rp 17,68
miliar dalam 12 transaksi. Transaksi pertama terjadi April 2007 dengan
total Rp 7 miliar. Pengucuran modal terakhir untuk The Palais terjadi
pada 6 Juni 2008, sebulan sebelum kerja sama dengan Pacific Blue
berakhir.

No comments:

Post a Comment

A Flores Folklore: The Grandmother Who Ate Everything

A Flores Folklore: The Grandmother Who Ate Everything : Rediscover Hidden Paradise